31 Oktober 2008

Wali Kelas IIIA2, SMA Negeri Mrapen Angkatan 1991


Bapak S. Margono Atma Pranata
Tanggal Lahir : Klaten, 16 Februari 1932
Alamat : Jl. Puspanjolo Timur VII No. 2 Semarang 50141


Pak Margono yang Kita Kenal

Kita pertama kali mengenal sosok Bapak Margono ketika acara Penataran P4 (Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Waktu itu, Penataran P4 diberikan kepada para siswa baru untuk lebih memahami hakikat Pancasila dan juga untuk mengenal lingkungan sekolah yang baru (Wawasan Wiyata Mandala, kalau tidak salah). Bapak Margono waktu itu berbicara sebagai Guru Senior. Beliau mengatakan bahwa kata “senior” sepadan dengan kata “TOP”, yang merupakan singkatan dari Tua, Ompong, Peyot.

Pada waktu kita masih duduk di kelas II SMA Negeri Mrapen, Bapak Margono yang bertindak sebagai Wali Kelas kita, pernah mengatakan bahwa tidak ada istilah “bekas anak” atau “bekas bapak” atau “bekas ibu” meskipun orang tuanya telah berpisah. Demikian juga tidak ada istilah “bekas murid” atau “bekas guru” meskipun kita telah lulus sekolah karena apa yang Bapak dan Ibu Guru ajarkan, terutama wejangan dari Bapak Wali Kelas kita tidak akan terhapus dari ingatan kita. Ilmu, nasehat dan mungkin lelucon yang penuh makna yang Beliau berikan akan selalu teringat di dalam hati kita, bahkan mungkin akan kita “tularkan” kepada anak-anak atau orang-orang terdekat kita.

Suatu saat Bapak Margono bercerita bahwa Beliau baru saja kecopetan sehingga amplop gaji satu bulan raib. Pada waktu itu, gaji pegawai negeri belumlah sebesar gaji pegawai negeri di jaman sekarang. Sehingga untuk satu bulan itu Beliau terpaksa “kerja bakti”. Dengan bersedih Beliau pulang ke rumah. Tapi hati Beliau menjadi lega, setelah “mantan pacar saya”, demikian Beliau bercerita, hanya berkata “ya sudahlah Pak, ikhlaskan saja…”. Seluruh murid menjadi terdiam, bukan hanya karena iba, tapi penasaran dan ingin bertanya, “kok mantan pacar saya” bukannya “istri saya.”

Kemudian Beliau melanjutkan, “lho… istri saya ‘kan dulunya juga pacar saya, wajar saja ‘kan kalau saya menyebutnya mantan pacar?.” Dan seluruh ruangan kelas tergelak, tertawa bercampur haru. Beliau menambahkan meskipun Beliau “habis-habisan” di bulan itu, tapi Beliau merasa tetap dihargai oleh istri Beliau karena istri Beliau tidak mempermasalahkan uang dapur yang satu bulan itu hilang. Dan Beliau tetap semangat dan ikhlas bekerja meskipun harus “bekerja bakti”. “Itulah salah satu tugas istri, harus bisa memberikan semangat bagi suaminya walaupun sang suami dalam keadaan apapun,” kata Beliau menambahkan.

Keadaan dan kondisi pegawai negeri, khususnya guru pada saat itu belumlah seberuntung sekarang. Konon gaji yang tidak terlalu besar, kadang belum pasti cukup untuk satu bulan. Belum lagi ada potongan korpri serta ini dan itu, untuk biaya transport dan lain-lain.

Bapak Margono pernah menuturkan, bahwa Beliau tidak suka dengan istilah “Mbok Wedok,” suatu istilah untuk menyebut istri. Beliau bercerita bahwa istri Beliau adalah wanita yang sangat bijak dan pandai mengatur, karena dengan gaji yang “ngepas” istri Beliau sanggup untuk bisa “menutup” bulan sampai tanggal terakhir.

Memang, demikian Bapak Margono meneruskan, seorang istri tidak boleh hanya sekedar “menunggu,” tapi juga harus kreatif. Untuk bisa “bertahan” sampai tanggal terakhir tiap bulannya, istri juga harus berusaha keras, seperti jual botol bekas, koran bekas yang sudah tidak terpakai dan lain-lain. Menabung? Tentu. Di bawah bantal, di bawah kasur … yah… demikian Bapak Margono sambil melebarkan kedua tangan ke kanan dan ke kiri. Cerita-cerita seperti itu Beliau sajikan sebagai selingan ketika Beliau mengajar.

Menjelang perpisahan, Bapak Margono juga mengatakan, “Begitu kalian lulus, sayapun juga akan segera keluar dari peredaran, mungkin tahun depan saya akan pensiun.” Beliau menceritakan bahwa Beliau lebih tua dari Bapak kepala sekolah (Bapak M. Sukoco), bahkan lebih tua dari Bapak Ahmad Akbari yang terlihat sudah sangat sepuh. Oleh karena itu, setelah Beliau pensiun, barulah Pak Akbari menyusul.

Beliau menambahkan, “Mengapa setua ini saya baru menjabat sebagai guru, dan bukan sebagai kepala sekolah atau wakil kepala sekolah?.” Sedangkan Pak Akbari pernah menjabat sebagai kepala sekolah (di sekolah lain). Bapak Margono menceritakan bahwa sebelum mengajar di SMA Mrapen Beliau mengajar di sekolah swasta. Selama mengajar di sekolah swasta, Golongan atau “Pangkat” Beliau sulit untuk naik. Semestinya pada waktu itu golongan Beliau sudah bisa sejajar dengan kolonel, seandainya Beliau dari awal sudah meniti sebagai pegawai negeri.

Wah, tinggi juga ya… Pak.

Konon Beliau mengajar di SMA Mrapen sejak SMA Mrapen pertama kali didirikan. Lokasi SMA Mrapen sebelumnya adalah sebuah persawahan. Beliau menceritakan, sebelum ada bis Purwo Gumilar atau Agung Bakti, untuk berangkat ke Mrapen dari rumah di Semarang kalau tidak naik vespa mungkin naik angkutan Isuzu.

Wah, Pak .. bareng sama ibu-ibu penjual sayuran dong...

Bisa dibayangkan kalau naik Isuzu, dari rumah mesti jam berapa ya? Naik berapa kali, terus dioper sama keneknya berapa kali? Untunglah, waktu itu belum ada terminal Penggaron. Sedangkan sekolah buka jam 7.00 WIB. Nah, kalau naik vespa, berapa lama, Pak? Kalau vespanya “ngadat” atau capek meskipun orangnya maunya buru-buru. Atau mungkin bensinnya habis. Wah repot juga, saat itu kan POM bensin masih jarang… tidak seperti sekarang, dekat kuburan saja ada POM bensin.

Meskipun kemudian Beliau tidak lagi naik angkutan Isuzu, rupanya ada sopir Isuzu yang masih mengenal Beliau dan sering menyapa dan menawarkan jasa apakah Beliau masih mau menumpang Isuzunya lagi.

Nah, akur ‘kan kalau guru-guru jaman dulu memang pantas disebut sebagai “Pahlawan tanpa Tanda Jasa”?.

Keadaan guru-guru jaman sekarang memang agak berbeda. Sejak reformasi, mereka sering demo “meminta kenaikan gaji.”

Bahkan yang membuat saya kecewa, pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2005 di Senayan, para guru dengan serempak seolah koor mengucapkan kata “huu….” pada saat Presiden SBY sedang berpidato. Karena merasa risih, walaupun sambutannya sebenarnya belum selesai, Presiden SBY harus turun dari podium lantaran merasa sudah tidak ada gunanya lagi memberikan sambutan.

Hal yang sama terulang lagi setahun kemudian. Tapi kali ini yang memimpin Peringatan Hardiknas di Senayan adalah Wapres Jusuf Kalla. Kemudian dengan marah Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa kalau kita hanya bisa menghina bangsa sendiri, kapan kita bisa maju.

Wah, omongan kita jadi “ngelantur” nih.

Kalau bicara soal guru, memang kita agak sedih. Kualitas guru jaman sekarang memang tidak sebagus jaman dulu. Itu menurut saya lho..

Jangankan guru, yang guru besar (profesor) saja, cara berfikirnya sangatlah WTS (Waton Suloyo). Lihat saja bagaimana Profesor Amien Rais (mantan ketua MPR) kalau sedang memberikan komentarnya di tv.

Profesor Amien selalu mengatakan bahwa pemerintahan sekarang tidak efektif. Pemerintah tidak bisa mengelola negara karena tidak mempunyai manajemen yang jelas. Karena manajemennya tidak jelas, makanya bisanya hanya “menaikkan harga BBM.”. Demikian kata Profesor Amien Rais.

Saya tidak berusaha membela SBY. Tapi bukankah kenaikan harga BBM terjadi beberapa kali ketika Pak Harto menjadi presiden? Begitu juga ketika Pak Habibie, Gus Dur, dan juga Megawati.

Ketika Megawati menjadi presiden, keadaannya lebih parah dari jamannya Pak Harto. Untuk menutup APBN, Megawati bukan sekedar menaikkan harga BBM, tapi juga menjual aset negara, dan mengajukan pinjaman utang yang baru ke IMF!

Kita tahu, 65% APBN adalah untuk membayar gaji pegawai negeri dan pensiunan. Sisanya untuk biaya operasional.

Bagaimana sih perasaan Profesor Amien Rais yang ketika itu menjadi Ketua MPR? Apakah Beliau merasa nyaman menerima gaji dan segala fasilitas dari negara, yang nota bene uang itu berasal dari utang ke IMF, hasil dari penderitaan rakyat karena harga BBM naik?

Nampaknya sang Profesor enjoy aja! Buktinya?

Ketika ketua MPR dijabat oleh Hidayat Nurwahid, Hidayat Nurwahid menolak menerima kendaraan dinas yang merknya Volvo! Nah, baru sadar kita!

Kebejatan Profesor Amien Rais dibuktikan ketika demo menentang pemerintahan Gus Dur. Untuk demo yang konon didukung oleh “mahasiswa”, ternyata banyak mahasiswa gadungan yang dibayar Rp30.000 per hari. Belum lagi komentar Beliau yang membuat masyarakat menjadi muak. Maka tak heran ketika Pemilihan Presiden 2004, Profesor Amien Rais menempati nomor empat, tak lebih baik dari Wiranto dan Sholahudin Wahid, dan juga tak juga tak lebih baik dari Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Saat ini ketika SBY menjadi presiden, keadaan ‘mungkin lebih baik.’ SBY menaikkan harga BBM untuk menutup APBN, tapi sudah putus hubungan dengan IMF beberapa waktu yang lalu. Selama itu pula negara kita sudah membayar utang kepada Bank Dunia sebesar 30%, dari total kira-kira 700 triliun rupiah, dengan kurs $1 = Rp10000,- demikian juga dengan aset negara yang dijual kepada pihak asing tidaklah sebanyak sebelumnya. Nampaknya usaha pemberantasan korupsi juga lebih baik, walaupun, tentu, keadaan ekonomi masyarakat masih ‘senin-kemis.’

Banyak dosen dan guru besar yang “moral”nya perlu kita pertanyakan.

Mulyana W. Kusumah (yang ini kriminolog lho.. suka ngomong ‘berantas korupsi’ di tv!), Prof. Nazaruddin Sjamsudin (manta Ketua KPU), dan lain-lain.

Sekarang kita kembali ke masalah hari-hari terakhir kita di Mrapen!

Kita sangat beruntung, pada waktu menjelang perpisahan, Bapak Margono dengan tanpa diminta, Beliau berinisiatif mengetik dan memfoto kopi data kita, lalu tanpa meminta biaya apapun Beliau membagikan foto kopian data tersebut kepada kita. Inilah data yang berhasil kami ketik kembali.

Apa yang Beliau lakukan merupakan cerminan doa dari hati Beliau yang tulus agar silaturahmi di antara kita tetap baik. Dan dari moto dan pesan yang Beliau berikan menunjukkan bahwa Beliau menginginkan agar kita selalu bersyukur kepada Tuhan, berterima kasih kepada orang tua dan guru serta tidak lupa kepada Almamater kita, untuk selanjutnya kita sanggup dan kuat menghadapi kehidupan nyata setelah kita lulus sekolah. Betapa besar kasih dan sayang Beliau kepada kita. Masih ingatkan kita, ketika terakhir kita mengadakan acara perpisahan di rumah Retno Tri Hastanti? Beliau tetap datang memenuhi undangan kita, dan hampir nyasar mencari rumah si Tanti, karena rumah Tanti agak “masuk.”

Kita masih ingat betul di waktu kelas II semester kedua (karena semester pertama di kelas dua, wali kelas kita masih Bapak Supomo Puji Atmoko), Beliau mengatakan bahwa seandainya ada murid Beliau yang suatu saat ada yang bisa tercapai cita-citanya menjadi dokter, maka Beliau tidak ingin “digratiskan” biayanya, tapi cukup diringankan saja.

Coba kita renungkan kata-kata yang Beliau berikan sebagai “wasiat” kepada setiap siswanya.

Tidak ada komentar: