31 Oktober 2008

Untuk teman-temanku Alumni SMA NEGERI MRAPEN ANGKATAN 1991.

Dear teman-temanku
semua Alumni SMA Negeri Mrapen dari semua angkatan.

Waktu telah berlalu. Begitu cepat. Berpuluh tahun telah berlalu. Dulu yang polos, sekarang jelas berubah menjadi dewasa. Dengan problematika dan cerita masing-masing tentunya.

Teman-temanku, aku ingin blog ini bisa dijadikan sebagai tempat untuk "reuni" keluarga besar kita dari semua angkatan.

Data yang kami masukkan sementara ini adalah data dari Kelas III A2 Angkatan 1991, karena memang data inilah yang sementara ini kami miliki.

Untuk melengkapi data, tentu kami sangat mengharapkan kontribusi dan partisipasi dari teman-teman semua.

Jangan lupa kirim e-mail dan data kalian ke:

anom.sukoco@gmail.com,

smamrapen@yahoo.com

atau kirimkan surat kalian ke :

Teguh Widodo
Jl. Cinere Raya No. 71 RT. 01 RW 12 Kel. Limo, Cinere, Depok
16514
Telp. 021.988 05 919

Jangan lupa foto kalian ya... biar kami atur di sini. Kalau mau boleh kok kalian edit blog ini.

Thank you very much.

I look forward to hearing a good news from you all.

Love,

Teguh, Anom & Dadang

Kepala Sekolah SMA Negeri Mrapen 1991


Bapak M. Soekoco
NIP : 130 282 903
Tanggal Lahir : 27 Desember 1939
Alamat : Jl. Rambutan Barat No. 53 Semarang

Pak Sukoco yang Kita Kenal

Kita mengenal Bapak Kepala Sekolah sebagai orang yang tegas. Menurut penuturan Bapak Margono, Pak Sukoco adalah sarjana lulusan Fisika dan mahir berbahasa Belanda dan Jerman.

Wali Kelas IIIA2, SMA Negeri Mrapen Angkatan 1991


Bapak S. Margono Atma Pranata
Tanggal Lahir : Klaten, 16 Februari 1932
Alamat : Jl. Puspanjolo Timur VII No. 2 Semarang 50141


Pak Margono yang Kita Kenal

Kita pertama kali mengenal sosok Bapak Margono ketika acara Penataran P4 (Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Waktu itu, Penataran P4 diberikan kepada para siswa baru untuk lebih memahami hakikat Pancasila dan juga untuk mengenal lingkungan sekolah yang baru (Wawasan Wiyata Mandala, kalau tidak salah). Bapak Margono waktu itu berbicara sebagai Guru Senior. Beliau mengatakan bahwa kata “senior” sepadan dengan kata “TOP”, yang merupakan singkatan dari Tua, Ompong, Peyot.

Pada waktu kita masih duduk di kelas II SMA Negeri Mrapen, Bapak Margono yang bertindak sebagai Wali Kelas kita, pernah mengatakan bahwa tidak ada istilah “bekas anak” atau “bekas bapak” atau “bekas ibu” meskipun orang tuanya telah berpisah. Demikian juga tidak ada istilah “bekas murid” atau “bekas guru” meskipun kita telah lulus sekolah karena apa yang Bapak dan Ibu Guru ajarkan, terutama wejangan dari Bapak Wali Kelas kita tidak akan terhapus dari ingatan kita. Ilmu, nasehat dan mungkin lelucon yang penuh makna yang Beliau berikan akan selalu teringat di dalam hati kita, bahkan mungkin akan kita “tularkan” kepada anak-anak atau orang-orang terdekat kita.

Suatu saat Bapak Margono bercerita bahwa Beliau baru saja kecopetan sehingga amplop gaji satu bulan raib. Pada waktu itu, gaji pegawai negeri belumlah sebesar gaji pegawai negeri di jaman sekarang. Sehingga untuk satu bulan itu Beliau terpaksa “kerja bakti”. Dengan bersedih Beliau pulang ke rumah. Tapi hati Beliau menjadi lega, setelah “mantan pacar saya”, demikian Beliau bercerita, hanya berkata “ya sudahlah Pak, ikhlaskan saja…”. Seluruh murid menjadi terdiam, bukan hanya karena iba, tapi penasaran dan ingin bertanya, “kok mantan pacar saya” bukannya “istri saya.”

Kemudian Beliau melanjutkan, “lho… istri saya ‘kan dulunya juga pacar saya, wajar saja ‘kan kalau saya menyebutnya mantan pacar?.” Dan seluruh ruangan kelas tergelak, tertawa bercampur haru. Beliau menambahkan meskipun Beliau “habis-habisan” di bulan itu, tapi Beliau merasa tetap dihargai oleh istri Beliau karena istri Beliau tidak mempermasalahkan uang dapur yang satu bulan itu hilang. Dan Beliau tetap semangat dan ikhlas bekerja meskipun harus “bekerja bakti”. “Itulah salah satu tugas istri, harus bisa memberikan semangat bagi suaminya walaupun sang suami dalam keadaan apapun,” kata Beliau menambahkan.

Keadaan dan kondisi pegawai negeri, khususnya guru pada saat itu belumlah seberuntung sekarang. Konon gaji yang tidak terlalu besar, kadang belum pasti cukup untuk satu bulan. Belum lagi ada potongan korpri serta ini dan itu, untuk biaya transport dan lain-lain.

Bapak Margono pernah menuturkan, bahwa Beliau tidak suka dengan istilah “Mbok Wedok,” suatu istilah untuk menyebut istri. Beliau bercerita bahwa istri Beliau adalah wanita yang sangat bijak dan pandai mengatur, karena dengan gaji yang “ngepas” istri Beliau sanggup untuk bisa “menutup” bulan sampai tanggal terakhir.

Memang, demikian Bapak Margono meneruskan, seorang istri tidak boleh hanya sekedar “menunggu,” tapi juga harus kreatif. Untuk bisa “bertahan” sampai tanggal terakhir tiap bulannya, istri juga harus berusaha keras, seperti jual botol bekas, koran bekas yang sudah tidak terpakai dan lain-lain. Menabung? Tentu. Di bawah bantal, di bawah kasur … yah… demikian Bapak Margono sambil melebarkan kedua tangan ke kanan dan ke kiri. Cerita-cerita seperti itu Beliau sajikan sebagai selingan ketika Beliau mengajar.

Menjelang perpisahan, Bapak Margono juga mengatakan, “Begitu kalian lulus, sayapun juga akan segera keluar dari peredaran, mungkin tahun depan saya akan pensiun.” Beliau menceritakan bahwa Beliau lebih tua dari Bapak kepala sekolah (Bapak M. Sukoco), bahkan lebih tua dari Bapak Ahmad Akbari yang terlihat sudah sangat sepuh. Oleh karena itu, setelah Beliau pensiun, barulah Pak Akbari menyusul.

Beliau menambahkan, “Mengapa setua ini saya baru menjabat sebagai guru, dan bukan sebagai kepala sekolah atau wakil kepala sekolah?.” Sedangkan Pak Akbari pernah menjabat sebagai kepala sekolah (di sekolah lain). Bapak Margono menceritakan bahwa sebelum mengajar di SMA Mrapen Beliau mengajar di sekolah swasta. Selama mengajar di sekolah swasta, Golongan atau “Pangkat” Beliau sulit untuk naik. Semestinya pada waktu itu golongan Beliau sudah bisa sejajar dengan kolonel, seandainya Beliau dari awal sudah meniti sebagai pegawai negeri.

Wah, tinggi juga ya… Pak.

Konon Beliau mengajar di SMA Mrapen sejak SMA Mrapen pertama kali didirikan. Lokasi SMA Mrapen sebelumnya adalah sebuah persawahan. Beliau menceritakan, sebelum ada bis Purwo Gumilar atau Agung Bakti, untuk berangkat ke Mrapen dari rumah di Semarang kalau tidak naik vespa mungkin naik angkutan Isuzu.

Wah, Pak .. bareng sama ibu-ibu penjual sayuran dong...

Bisa dibayangkan kalau naik Isuzu, dari rumah mesti jam berapa ya? Naik berapa kali, terus dioper sama keneknya berapa kali? Untunglah, waktu itu belum ada terminal Penggaron. Sedangkan sekolah buka jam 7.00 WIB. Nah, kalau naik vespa, berapa lama, Pak? Kalau vespanya “ngadat” atau capek meskipun orangnya maunya buru-buru. Atau mungkin bensinnya habis. Wah repot juga, saat itu kan POM bensin masih jarang… tidak seperti sekarang, dekat kuburan saja ada POM bensin.

Meskipun kemudian Beliau tidak lagi naik angkutan Isuzu, rupanya ada sopir Isuzu yang masih mengenal Beliau dan sering menyapa dan menawarkan jasa apakah Beliau masih mau menumpang Isuzunya lagi.

Nah, akur ‘kan kalau guru-guru jaman dulu memang pantas disebut sebagai “Pahlawan tanpa Tanda Jasa”?.

Keadaan guru-guru jaman sekarang memang agak berbeda. Sejak reformasi, mereka sering demo “meminta kenaikan gaji.”

Bahkan yang membuat saya kecewa, pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2005 di Senayan, para guru dengan serempak seolah koor mengucapkan kata “huu….” pada saat Presiden SBY sedang berpidato. Karena merasa risih, walaupun sambutannya sebenarnya belum selesai, Presiden SBY harus turun dari podium lantaran merasa sudah tidak ada gunanya lagi memberikan sambutan.

Hal yang sama terulang lagi setahun kemudian. Tapi kali ini yang memimpin Peringatan Hardiknas di Senayan adalah Wapres Jusuf Kalla. Kemudian dengan marah Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa kalau kita hanya bisa menghina bangsa sendiri, kapan kita bisa maju.

Wah, omongan kita jadi “ngelantur” nih.

Kalau bicara soal guru, memang kita agak sedih. Kualitas guru jaman sekarang memang tidak sebagus jaman dulu. Itu menurut saya lho..

Jangankan guru, yang guru besar (profesor) saja, cara berfikirnya sangatlah WTS (Waton Suloyo). Lihat saja bagaimana Profesor Amien Rais (mantan ketua MPR) kalau sedang memberikan komentarnya di tv.

Profesor Amien selalu mengatakan bahwa pemerintahan sekarang tidak efektif. Pemerintah tidak bisa mengelola negara karena tidak mempunyai manajemen yang jelas. Karena manajemennya tidak jelas, makanya bisanya hanya “menaikkan harga BBM.”. Demikian kata Profesor Amien Rais.

Saya tidak berusaha membela SBY. Tapi bukankah kenaikan harga BBM terjadi beberapa kali ketika Pak Harto menjadi presiden? Begitu juga ketika Pak Habibie, Gus Dur, dan juga Megawati.

Ketika Megawati menjadi presiden, keadaannya lebih parah dari jamannya Pak Harto. Untuk menutup APBN, Megawati bukan sekedar menaikkan harga BBM, tapi juga menjual aset negara, dan mengajukan pinjaman utang yang baru ke IMF!

Kita tahu, 65% APBN adalah untuk membayar gaji pegawai negeri dan pensiunan. Sisanya untuk biaya operasional.

Bagaimana sih perasaan Profesor Amien Rais yang ketika itu menjadi Ketua MPR? Apakah Beliau merasa nyaman menerima gaji dan segala fasilitas dari negara, yang nota bene uang itu berasal dari utang ke IMF, hasil dari penderitaan rakyat karena harga BBM naik?

Nampaknya sang Profesor enjoy aja! Buktinya?

Ketika ketua MPR dijabat oleh Hidayat Nurwahid, Hidayat Nurwahid menolak menerima kendaraan dinas yang merknya Volvo! Nah, baru sadar kita!

Kebejatan Profesor Amien Rais dibuktikan ketika demo menentang pemerintahan Gus Dur. Untuk demo yang konon didukung oleh “mahasiswa”, ternyata banyak mahasiswa gadungan yang dibayar Rp30.000 per hari. Belum lagi komentar Beliau yang membuat masyarakat menjadi muak. Maka tak heran ketika Pemilihan Presiden 2004, Profesor Amien Rais menempati nomor empat, tak lebih baik dari Wiranto dan Sholahudin Wahid, dan juga tak juga tak lebih baik dari Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Saat ini ketika SBY menjadi presiden, keadaan ‘mungkin lebih baik.’ SBY menaikkan harga BBM untuk menutup APBN, tapi sudah putus hubungan dengan IMF beberapa waktu yang lalu. Selama itu pula negara kita sudah membayar utang kepada Bank Dunia sebesar 30%, dari total kira-kira 700 triliun rupiah, dengan kurs $1 = Rp10000,- demikian juga dengan aset negara yang dijual kepada pihak asing tidaklah sebanyak sebelumnya. Nampaknya usaha pemberantasan korupsi juga lebih baik, walaupun, tentu, keadaan ekonomi masyarakat masih ‘senin-kemis.’

Banyak dosen dan guru besar yang “moral”nya perlu kita pertanyakan.

Mulyana W. Kusumah (yang ini kriminolog lho.. suka ngomong ‘berantas korupsi’ di tv!), Prof. Nazaruddin Sjamsudin (manta Ketua KPU), dan lain-lain.

Sekarang kita kembali ke masalah hari-hari terakhir kita di Mrapen!

Kita sangat beruntung, pada waktu menjelang perpisahan, Bapak Margono dengan tanpa diminta, Beliau berinisiatif mengetik dan memfoto kopi data kita, lalu tanpa meminta biaya apapun Beliau membagikan foto kopian data tersebut kepada kita. Inilah data yang berhasil kami ketik kembali.

Apa yang Beliau lakukan merupakan cerminan doa dari hati Beliau yang tulus agar silaturahmi di antara kita tetap baik. Dan dari moto dan pesan yang Beliau berikan menunjukkan bahwa Beliau menginginkan agar kita selalu bersyukur kepada Tuhan, berterima kasih kepada orang tua dan guru serta tidak lupa kepada Almamater kita, untuk selanjutnya kita sanggup dan kuat menghadapi kehidupan nyata setelah kita lulus sekolah. Betapa besar kasih dan sayang Beliau kepada kita. Masih ingatkan kita, ketika terakhir kita mengadakan acara perpisahan di rumah Retno Tri Hastanti? Beliau tetap datang memenuhi undangan kita, dan hampir nyasar mencari rumah si Tanti, karena rumah Tanti agak “masuk.”

Kita masih ingat betul di waktu kelas II semester kedua (karena semester pertama di kelas dua, wali kelas kita masih Bapak Supomo Puji Atmoko), Beliau mengatakan bahwa seandainya ada murid Beliau yang suatu saat ada yang bisa tercapai cita-citanya menjadi dokter, maka Beliau tidak ingin “digratiskan” biayanya, tapi cukup diringankan saja.

Coba kita renungkan kata-kata yang Beliau berikan sebagai “wasiat” kepada setiap siswanya.

Keluarga SMA Negeri Mrapen Kelas IIIA2 Angkatan 1991

1. Andika Dadang Satria Wibawa



Grobogan, 28 April 1973
Jl. Sudirman Kel. Tegowanu Wetan, Kec. Tegowanu Kab. Grobogan.

Alamat sekarang : Komplek Pemda, Palembang.

Pesan dari Bapak Margono :
Hidup adalah perjuangan. Jangan mundur menghadapi kesulitan.

Komentar Editor: Dadang sekarang tinggal di Palembang, Sumatera Selatan. Bekerja pada sebuah perusahaan farmasi Amerika, Pfizer, sebagai Marketing Executive. Menikah dengan wanita Palembang dan dikaruniai satu anak. Dadang adalah salah satu teman kita yang cukup sukses. Dadang sering ke Jakarta untuk mengikuti rapat yang diadakan oleh perusahaan tempat ia bekerja.

Dadang adalah orang yang cerdas, walaupun kelihatan selenge’an.
Hal itu diungkapkan juga oleh teman sebangkunya, Kaswan. Mungkin situasi atau hal yang bersifat pribadi pada waktu itu yang membuat Dadang “hanya terlihat kebandelannya.”

Suatu saat, ketika Guru Geografi, Pak Muharno, entah bercanda atau serius, menyebutkan kata Andika Dadang Satria Wibawa. Pak Muharno mengatakan bahwa, “orang kayak gitu kok satria..”

Wah.. Pak, keterlaluan sekali cara bercanda Bapak… Tidak etis dan tidak mendidik. Semoga dalam kurun waktu yang begitu panjang, hampir dua puluh tahun, Bapak Muharno sudah insyaf dan lebih bijaksana.

2. Anom Sukoco



Tegowanu, 11 Juli 1973
Kel. Tegowanu Kulon, Kec. Tegowanu, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Belajar dengan giat, adalah suatu baktiku kepada kedua orang tuaku.

Komentar Dadang: Dulu saya sering panggil beliau ini dgn sebutan "mbah anom".karena beliau ini sgt introvet.Tapi akhirnya keterusan sampai sekarang,walaupun beliau sekarang sdh "insyaf".orang kalau blm kenal sama beliau, Pasti di pikirnya "Katro".Tapi kalau sdh kenal pasti mengakui kelebihan nya,kecerdasannya.lihatlah kata 2nya yang demikian puitis,dan kefasihannya berbahasa inggris.maju terus mbah,dunia pastimemelukmu dgn hangat.

Komentar Anom: kalau kita nonton film remaja seputar anak-anak SMA semacam Lupus dll, tentu ada anak yang 'aneh', nggak tahunya aku termasuk yang aneh itu tho Dang?

Tak kiro aku normal ha ha

3. Agnes Ruruh Wiyati


Tanggung, 18 September 1972

Tanggungharjo, Kec. Kedungjati, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan terpuaskan. (Math 5 : 6)

Komentar Editor: karena sikapnya yang sangat keibuan, banyak yang memanggilnya Mbak Ruruh. Selain cakap di bidang pelajaran Bahasa Inggris, Mbak Ruruh juga cakap di bidang pelajaran yang lain. Kok tahu? Ya iya lah… aku ‘kan sering nyontek dia… he .. he.. he…

Saat ini Mbak Ruruh bekerja di Departemen Kehutanan dan berkantor di Manggala Wanabhakti, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta. Tinggal di Depok bersama suami dan anaknya. Suaminya adalah seorang tentara Angkatan Darat dari Korp Hukum.

4. Ani Suprapti


Godong, 26 Maret 1973
Jl. Jend. Sudirman Kec. Godong Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Kebudayaan bangsaku lebih indah dari kebudayaan bangsa lain, maka pantas aku pertahankan.

Komentar Editor: Ani sebangku dengan Mbak Ruruh. Mbak Ruruh, mau kasih komentar mengenai Ani?

Ani sekarang buka usaha sendiri di Godong sebagai penjahit, kalau tidak salah namanya “Kartini.” Aku dan Dadang pernah main ke rumah Ani dan menilai usaha Ani cukup sukses.

Ani, kamu udah sukses banget, karena tidak mencari kerja ke mana-mana, malah orang yang mencari kamu dan ngasih duit ke kamu. Coba bayangkan teman-temanmu yang lain. Cari kerja saja sampai ke Jakarta, Palembang, Kalimantan, paling dekat Semarang.

Makanya bersyukur ya…?

5. Budi Kiswanto


Karangawen, 28 Januari 1971
Ds. Brambang, Kec. Karangawen, Kab. Demak

Pesan dari Bapak Margono :
Sebagai warga negara Indonesia, aku ingin berbuat banyak bagi negaraku.

Komentar Editor: Budi sekarang tinggal di Bekasi, berdekatan dengan rumah Kasmudi. Cita-cita Budi untuk menjadi seorang tentara tercapai. Budi menikah pada akhir 1999 dan sekarang dikarunia dua orang anak. Istrinya kalau tidak salah adalah seorang perawat.

6. Dhian Christianto


Bugel, 29 Januari 1973

Desa Kemantren, Kec. Godong, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu. Carilah maka kamu akan diberi. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. (Math 7:7)

Komentar Editor: Hey Jude… don’t let me down. Take a sad song and make it better… Dian .. (aku nggak pernah memanggil Dodi) terima kasih kaset the Beatles dan Richard Marx-nya ya…

Dodi adalah seorang sarjana komputer (S.Kom). Kuliah di Universitas Gunadarma Jakarta. Menikah dengan Endah Tri Purwanti dan dikaruniai dua orang anak. Dodi, semoga Tuhan selalu memberikan kemudahan dan perlindungan kepadamu dan keluargamu. Amin.

7. Endah Kusworowati


Kebonagung, Dempet, 4 November 1972

Desa Kebonagung, Kec. Dempet, Kab. Demak

Pesan dari Bapak Margono :
Kesenian dan kebudayaan itu indah. Maka tidaklah cukup hanya dikagumi, tetapi wajib dipelajari.

Komentar Editor: setahuku Endah adalah orang yang cukup memberikan senyumnya daripada menjawab dengan kata-kata, tapi bukan termasuk tipe orang yang pendiam.

8. Endah Tri Purwanti


Grobogan, 2 September 1972

Jl. Jend. A. Yani 150 Gubug, Kab. Grobogan.

Pesan dari Bapak Margono :
Aku tidak akan melupakan “Almamater” SMA Negeri Mrapen yang sangat kusayangi.
Komentar Editor: yang aku tahu Endah selalu tersenyum, apapun yang terjadi. Ndah, baik-baik ya sama suami dan anak-anakmu. Tuhan selalu bersamamu. Amin.

9. Endang Djatiningsih



Godong, 20 Juli 1973

Jl. Katamso 18 Godong Kec. Godong Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
“Gantungkan cita-citamu setinggi langit,” Pesan Almarhum Bapak Presiden Dr. Ir. Soekarno.

Komentar Editor: Endang Djatiningsih sekarang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit MMC Kuningan Jakarta.

Sebelumnya Endang kuliah di jurusan Keperawatan dan praktek di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), di Jl. Kyai Maja Jakarta Selatan.

Endang telah menyelesaikan S1 Keperawatan di Universitas Indonesia pada 2005. Hebat ya..? Of course lah.

Endang yang cerdas dan pintar, you deserve to get the best.

10. Endang Setyoningsih


Grobogan, 17 Juli 1972

Desa Jeketro, Kec. Gubug, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Jika ada kemauan, pastilah ada jalan. Ada 1000 jalan menuju ke Roma. Jangan mudah putus asa.

Komentar Editor: Suami Endang Setyoningsih adalah petugas BKKBN. And more? Belum dapat info terbaru…

11. Hadi Riyanto

Grobogan, 11 Agustus 1972

Karangpasar, Kec. Tegowanu, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Kebulatan tekad dan penuh kesungguhan merupakan modal utama dalam mencapai cita-cita.

Komentar Editor: kabar terakhir Hadi Riyanto jadi juragan beras. Wah… hebat mas ya … udah swa sembada nih…

12. Kasmudi


Dorolegi, 27 Februari 1973

Ds. Dorolegi, Kec. Godong Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Senyum itu sehat. Senyum menunjukkan keramahan. Maka tersenyumlah selalu.

Komentar Editor: Kasmudi tinggal di Bekasi berdekatan dengan Budi Kiswanto. Bekerja di Teh Botol Sosro - Bekasi

13. Kaswan


Tegowanu Wetan, 9 Juni 1971

Jl. Jend. Sudirman, Kec. Tegowanu, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
“Akan kucapai cita-citaku dengan sekuat tenagaku,” itulah semboyanku.

Komentar Editor: Tak lama berselang setelah lulus sekolah, Kaswan merantau ke Tangerang bersama Dadang dan bekerja di Perusahaan sepatu yang memproduksi sepatu Eagle dan merk-merk terkenal lainnya. Kaswan telah menikah dan dikarunia anak.

Konon kata Dadang, merk-merk terkenal seperti Eagle, Kasoghi dan lain-lain dibuat oleh satu pabrik meskipun dalam kancah pemasaran mereka mengatakan bahwa mereka adalah lain perusahaan dan lain pabrik. Wah berbeda ya dengan merk Bata yang punya merk dan pabrik sendiri. Pemasarannyapun mereka punya stand sendiri.

14. Margono (Homo tegowanuensis)


Boyolali, 23 September 1973

Tegowanu Wetan, Kec. Tegowanu, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat kepadamu,….

Komentar Editor: setelah lulus, Margono pernah ikut sama Teguh ke Jakarta dan melamar ke sana kemari. Kemudian dia pulang ke kampung halamannya di Boyolali, kemudian tak terdengar lagi kabar beritanya. Gon, kalau kamu tahu dan baca artikel ini tolong ya hubungi teman-temanmu, Anom, Teguh … Dadang.

Waktu sekolah, yang aku ingat resleting pada celana Pramuka Margono tertulis : OTOT. Masih ingat tidak, Gon?

Pada hari-hari terakhir, ketika melihat foto kopi ijazah milik Margono yang baru dibagikan, Rini Sulistyowati mengatakan bahwa gambar foto kopi Margono tampak lebih ganteng dari aslinya. Dengan riang Margono menjawab : ya.. ya… betul!

15. Moh. Rodhi


Godong, 6 Januari 1973

Desa Manggarmas, Kec. Godong, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Orang tuaku telah banyak berbuat untukku. Maka aku akan berbuat banyak juga untuk mereka.

16. Mukhoyaroh


Ngroto, Gubug, 2 Agustus 1972

Desa Ngroto, Kec. Gubug, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Sebagai wanita Indonesia, aku wajib melaksanakan cita-cita Ibu Kartini.

Komentar Editor: waktu kelas dua semester kedua, saat pertama kali Bapak Margono mengajar di kelas kita ada kejadian cukup lucu. Saat itu Pak Margono menerangkan bahwa kita mempelajari Biologi secara ilmiah, tidak bermaksud untuk berfikir kotor atau yang lainnya. Kita harus ilmiah, demikian kata Bapak Margono, mengingat ada orang tua yang protes mengapa anak-anak diajarkan hal-hal yang sifatnya tabu seperti organ-organ reproduksi.

Kalau kita sudah berfikir ilmiah, demikian Bapak Margono, maka kita siap untuk belajar Biologi terutama tentang reproduksi. Kemudian tanpa disangka Mukhoyaroh bertanya, “Pak, kapan prakteknya?” semua murid tentu saja tertawa.

“Prakteknya setelah nanti kalian menikah,” jawab Bapak Margono sambil tersenyum.

Nah, gimana sekarang… cukup jelas bukan… laboratoriumnya ada di rumah!

Ayo… siapa yang waktu malam pertama masih ingat pelajaran Bapak Margono!

17. Moh. Zuhri


Godong, 6 Desember 1971

Desa Manggarmas, Kec. Godong, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Berorganisasi adalah suatu latihan hidup dan terjun dalam masyarakat.

Komentar :
Mbah Modin, demikian Moh Zuhri biasa dipanggil oleh teman-teman, adalah orang yang rajin dan taat beribadah. Mbah Modin juga pintar dalam berorganisasi, terutama Pramuka. Pernah mengikuti ekstra kurikuler Pencak Silat pada waktu Pak Supomo masih mengajar di SMA Mrapen.

Saya termasuk orang yang sangat beruntung bisa mengenal lebih dekat dengan Moh Zuhri. Maklum, sebagai “anak” yang sangat pendiam dan tertutup pada waktu itu, saya tidak mudah untuk “akrab” dengan semua teman.

Selain di bidang agama, Zuhri juga sangat cakap di bidang Matematika, Fisika dan Kimia. Tetapi untuk pelajaran yang sifatnya “hafalan” seperti bahasa dan PMP rupanya dia kurang tertarik.

Pada waktu kelas II, ketika mau mengadakan tur, Mbah Modin diminta fatwanya. Ketika itu masih musim undian olah raga berhadiah atau PORKAS yang kemudian berganti nama menjadi SDSB.

Karena ternyata tidak semua murid bisa mengikuti study tour termasuk saya, kemudian Zuhri memberi fatwa agar kita “pasang” PORKAS aja! Hal yang tidak baik akan menjadi baik bila sifatnya adalah “darurat”, demikian fatwa sang “Modin.”

Rupanya Tuhan berkehendak lain. Tidak satupun nomor yang dipasang menang!

Zuhri termasuk orang yang suka membantu teman, termasuk aku. Aku termasuk orang yang sakit-sakitan. Aku masih ingat, waktu kelas II, Moh Zuhri mengantarkanku ke Puskesmas. Selain mengantar ke Puskesmas, Zuhri juga membayarkan biaya administrasinya, dengan uang recehan Rp25 dan Rp 50 yang ia punya!

Setelah lulus sekolah, Zuhri berusaha memberi pekerjaan kepada teman-temannya. Dari pada jauh-jauh ke Semarang lebih baik kita buka usaha sendiri, demikian rencana Zuhri.

Rupanya hal yang di luar dugaannya terjadi. Teman-teman seperti Ana rupanya marah kepada Zuhri, karena merasa dibohongi. Namun kemudian masalah itu bisa menjadi “clear” karena kita tahu siapa Zuhri.

Moh Zuhri yang baik, tidak perlu kecewa dan menyesal, yang penting kamu sudah berusaha yang terbaik untuk teman-temanmu. Ya khan..?

Peristiwa yang aneh dituturkan oleh Dadang. Ketika Dadang masih bekerja di Perusahaan sepatu bersama Kaswan di Tangerang, tanpa diduga sama sekali datanglah Moh Zuhri.

Sangat aneh! Demikian pikir Dadang. Dadang dan Kaswan sama sekali tidak pernah memberi alamat kepada Moh Zuhri, mengapa dia bisa sampai di sini.

Seandainya ada orang yang diberi alamatpun, belum tentu ia bisa menemukan rumah kontrakan Dadang yang sempit dan “tidak jelas” gang masuk serta nomor rumahnya.

Rupanya Moh Zuhri datang dengan hanya berbekal sebotol madu dan tidak berbekal apa-apa lagi. Kemudian Dadang bertanya untuk apa botol madu itu. Zuhri menjawab, “Ini madu saya jual kalau saya sudah kehabisan uang di jalan”.

Wah, nyalimu besar sekali, Zur!

Setelah di”investigasi” secara marathon oleh Dadang dan Kaswan, rupanya Zuhri baru saja mempelajari ilmu “Ketuhanan” atau “Tauhid” yang semestinya dia belum mencapai level itu.

Wah, Zur… kayak Gus Dur aja!

Saya bersama Dadang terakhir ke rumah Zuhri di Manggar Mas tahun 2000, kira-kira tiga bulan sebelum Dadang dan Kasmudi menikah. Diceritakan oleh orang tuanya bahwa Zuhri sedang kuliah S2, setelah sebelumnya ia lulus S1 di IAIN Walisongo. Dadang menanyakan kepada Bapaknya Zuhri apakah Zuhri sudah mempunyai rencana akan menikah. Oleh Bapaknya dijawab bahwa Zuhri akan menikah kalau sudah selesai kuliah S2-nya!

Zuhri, selamat ya… kamu adalah orang yang patuh dan konsisten dengan apa yang ingin kamu capai.

18. Nurbani Miftahul Hidayah


Godong, 1 Februari 1973

Jl. Jend. Sudirman No. 109B, Kec. Godong, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Dasa Dharma peganganku. Akan kuresapi dan kuamalkan.

Komentar: Nurbani adalah salah satu teman kita yang suka berorganisasi terutama Pramuka. Dengan lesung pipitnya yang manis, menjadikannya mudah dan supel dalam organisasi.

Seingatku Nurbani selalu duduk di bangku paling depan, dan sering menjadi sekretaris kelas.

Nurbani sekarang mempunyai dua anak, rumahnya terletak di belakang rumah Retno Tri Hastanti.

19. Nurcholis


Rajek, 25 Maret 1972

Desa Rajek, Kec. Godong, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Padamu Negeri, aku berbakti. Bagimu Negeri, jiwa raga kami.

Komentar : salah satu hobi Nurcholis adalah mencet jerawat. Lis, jangan dipencet lagi, ya?

20. Nursetianingsih


Pangkalan, 22 Desember 1972

Pangkalan, Kec. Karangrayung, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Tak ada pekerjaan lain bagiku kecuali berbakti kepada orang tua, bangsa dan negaraku.

Komentar : sebelum lulus, Mbak Nur pernah bilang sama aku kalau ia mungkin merantau ke Kalimantan setelah lulus. Mbak Nur, sekarang di mana?

21. Rahayu Wijayanti


Grobogan, 13 Februari 1973

Desa Kuwaron, Kec. Gubug, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang Surya menyinari dunia.

Komentar : Si imut Yayuk setelah lulus bekerja di Wirosari, Purwodadi pada Yayasan Karya Jaya yang bergerak di bidang perkreditan.

Pernah ketemu sama aku di Mrapen, kira-kira tahun 2000, ia sudah menggendong anak. Walau begitu ia tetap imut.

Yuk, jangan suka nyebar gosip ya? Masak aku dibilang pacaran dan mau nikah sebentar lagi…. Wah… bikin heboh aja…

22. Retno Tri Hastanti


Godong, 22 Maret 1974

Jl. Pemuda 39 Godong, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Aku anak sehat. Tubuhku kuat. Karena ibuku rajin dan cermat. Semasa aku bayi, selalu diberi ASI, makanan bergizi dan imunisasi.

Komentar :
Setelah lulus, Tanti kuliah di Yogya. Sekarang dia bekerja di Pemda Grobogan.

Terakhir aku dan Dadang ke rumah Tanti tahun 2000, rupanya Tanti agak “pangling” sama Dadang. Katanya Dadang tambah gemuk dan ganteng. Walah…

23. Rini Sulistyowati


Ngroto, 23 Maret 1973

Desa Ngroto, Kec. Gubug, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Ilmu pengetahuan adalah harta benda yang tidak dapat dicuri orang dan hilang.

Komentar : Rien, masih suka sakit? Selalu berfikirlah positif (positive thinking), demikian kata orang bijak. Tapi memang bener kok, kalau pas aku lagi berfikir positif dan tetap berprasangka baik kepada semua orang, aku jarang sakit.

Terakhir aku dengar kabar Rini bekerja di bagian Customer Service di sebuah perusahaan di jalan Usman Janatin, Semarang.

Rien, jaga kesehatan ya… jaga juga anakmu biar sehat dan pintar.

24. Rokhim


Buko, 5 Agustus 1972

Gubug, RT. 02/05 Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Bersemboyanlah: “Jika orang lain dapat, akupun seharusnya juga dapat.”

Komentar:
Ketika kelas dua, Yayuk pernah mengedarkan buku kenangan supaya diisi oleh teman-teman. Rokhim menulis pada bagian cita-cita : dokter kandungan.

Rokhim sekarang membuka sebuah usaha yang sukses sebagai penjahit di Gubug.

Rokhim, semoga Tuhan selalu memberikan kemudahan kepada keluargamu. Amin.

25. Sri Rejeki


Grobogan, 19 Mei 1973

Desa Kuwaron, Kec. Gubug, Kab. Grobogan.

Pesan dari Bapak Margono :
Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran. Amsal 17:17.

26. Siti Lestari


Grobogan, 29 Mei 1972

Desa Kemloko, Kec. Godong, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan.

27. Setyo Endang Purwaningsih


Teguhan, 21 Agustus 1972

Teguhan, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Orang yang sabar melebihi pahlawan. Orang yang dapat menguasai dirinya sendiri melebihi orang yang merebut kota.

28. Siti Muslichatun Chasanah


Grobogan, 6 Desember 1972.
Jl. A. Yani RT. 02/01 Kec. Gubug, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Jangan mudah putus asa. Cobalah dahulu, Anda pasti dapat

Komentar:
Ana adalah siswa yang jago baca puisi ... semua ingat itu!

29. Sri Nuryani


Dorolegi, 29 Juni 1972

Dorolegi, Kec. Godong, Kab. Grobogan
Pesan dari Bapak Margono :
Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya. Orang yang berpengertian berkepala dingin.

30. Teguh Widodo


Grobogan, 15 Mei 1973

Desa Tegowanu, Kec. Tegowanu, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Perkataan yang menyenangkan adalah seperti madu. Manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.

Komentar Editor:
Pada waktu kita masih bersekolah, Teguh adalah anak yang selengekan. Meskipun ia mempunyai jiwa kepemimpinan, nyaris teman-teman satu kelasnya tidak memilihnya ketika ia menjadi kandidat ketua OSIS.

Namun ketika telah lulus dan memutuskan merantau ke Jakarta, Teguh berubah menjadi pribadi yang sangat dewasa dan bisa menguasai diri. Jiwa leadership-nya nampak, dan ia dipercaya oleh Bosnya untuk memimpin sebuah perusahaan. Konon Bosnya tersebut memiliki seorang anak yang telah meninggal, dan ia ingin melihat perusahaannya tetap berjalan. Dan Teguhlah yang dipercaya menjalankan roda perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor itu.

Di Jakarta, ia menampung teman-temannya yang ingin mencari pekerjaan, termasuk Margono dan Dadang. Teguh juga yang memperkenalkanku pada komputer. Aku ternyata orang yang termasuk mengidap penyakit jiwa “phobia.” Bagaimana tidak, waktu itu komputer adalah barang yang sangat mewah dan aku pikir komputer “sama dengan” Matematika. Dan aku katakan pada Teguh bahwa komputer bukan bidangku, sedang bakatku di bidang bahasa Inggris. Tapi Teguh memaksaku untuk mencobanya.

Pada waktu itu Teguh juga menawarkan aku pekerjaan di Planet Hollywood yang persyaratan utamanya adalah mampu berbahasa Inggris. Mungkin mentalku pada waktu itu yang masih sangat payah, sehingga aku menolaknya.

Pada waktu aku ke rumah Dadang di Palembang sekitar tahun 2002, Dadang mengatakan bahwa Teguh adalah orang yang jujur dan tulus. Saking jujur dan tulusnya, ia pernah ditipu orang dalam pekerjaannya. Yah, namanya juga Jakarta! Konon ibu kota lebih kejam dari ibu tiri!

Teguh pernah bekerja di Kalimantan dan bekerja di sana selama beberapa tahun. Ia pernah bercerita bahwa anaknya yang pertama, Lalang tak mengenalnya saat ia pulang dari Kalimantan. Atas permintaan istrinya ia kembali mencari pekerjaan di Jakarta, meskipun di Kalimantan sebenarnya ia sudah menempati posisi yang lumayan dalam pekerjaanya.

Sekarang Teguh mempunyai dua anak, anak pertama laki-laki dan kedua perempuan. Tinggal di Cinere, Jakarta Selatan. Istrinya, Atik adalah orang Betawi.

31. Tri Wulan Lestari


Sumberjosari, 24 Maret 1973

Sumberjosari, Karang Rayung, Kab. Grobogan.

Pesan dari Bapak Margono :
Dengarkanlah nasehat dan terimalah didikan supaya engkau menjadi bijaksana di masa depan.

Komentar dari Editor :
Tri Wulan duduk di sebelah kanan bersama Siti Lestari. Seingatku Tri Wulan sangat cakap di bidang pelajaran Fisika. Ia termasuk murid yang cakap di bidang studi eksakta.

32. Titik Atmawati


Dorolegi, 15 April 1973

Dorolegi, Kec. Godong, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Telinga yang mendengar dan mata yang melihat, semua adalah ciptaan Tuhan, maka gunakanlah sebaik-baiknya.

Komentar Editor:
Titik was a black- sweet girl. Pintar dan cerdas. Duduk satu bangku dengan Titik membuat aku tahu bahwa Titik adalah orang yang sangat terbuka (ekstrovert) dan suka bercerita.

Sebagai orang yang “sangat tertutup” atau introvert, aku mendengarkan semua cerita yang dituturkan oleh Titik, tetapi kadang aku tidak memahaminya, maklum kadang aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri dan aku kadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memahami ceritanya.

Titik juga memahami karakterku yang pendiam. Suatu saat ia mengajak aku menyanyikan sebuah lagu barat dan meminta aku mengartikan maknanya. Mungkin karena sangat serius dan “khusyu”, teman-teman yang lain seperti Sri Nuryani bertanya kepada Titik mengapa Anom “tumben” nyanyi. Dengan berseloroh Titik mengatakan bahwa Anom sedang berulang tahun….. he… he…

Aku merasa sangat beruntung satu bangku dengan Titik. Matematika, kimia dan fisika, aku dapat contekan dari dia. Dia juga baik hati dan pengertian. Suatu saat dia tahu kalau aku nggak punya sepatu, Titik memberiku sepatu bekas PON (Pekan Olah Raga Nasional). Maklum dia ‘kan pernah menjadi anggota barisan pengiring api PON. Sepatu itu bahkan masih aku pakai ketika aku pertama kali mengadu nasib ke Jakarta.

Titik, thank you for all of your kindness.

33. Yoki Meirat Larasanto


Grobogan, 9 Mei 1973

Depok, Kec. Toroh, Kab. Grobogan

Pesan dari Bapak Margono :
Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah tidak akan menerima jawaban kalau ia sendiri berseru-seru.

Komentar dari Editor :
Yoki termasuk murid yang agak pendiam. Rumahnya cukup jauh dengan rumah murid-murid yang lain, yaitu di Toroh Purwodadi.